Dua Dekade Otonomi Daerah

Dua Dekade Otonomi Daerah

Dengan berlandaskan pada UU 22/1999 maka otonomi daerah sudah memasuki usia yang sudah mapan tentunya. Tetapi, setelah 20 tahun berjalan, hasil apa saja yang sudah dicapai? Apakah masyarakat umum turut menikmati era ini, atau hanya segelintir orang dan kelompok? Apakah kemajuan daerah sudah signifikan, atau masih tertatih-tatih? Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih perlu dikaji lebih jauh lagi, dan tulisan ini memberikan beberapa argumentasi retoris sebagai bahan refleksi terkait keberadaan dan indikator kesuksesan otonomi daerah di mana kita semua hidup di dalam era tersebut.Mengupas berhasil-tidaknya pelaksanaan otonomi daerah setidaknya dapat terlihat pada sejauh mana pemerintah daerah mampu memikirkan dan bertanggung jawab atas kondisi dan kebutuhan daerahnya. Ukurannya adalah kualitas masyarakatnya, kualitas lingkungannya, kualitas infrastruktur dan konektivitas wilayahnya, perkembangan IT-nya, penanganan permasalahan perkembangan perkotaan (banjir, kemacetan, sampah), perkembangan potensi unggulan daerah (agrikultur, pariwisata, seni dan budaya), kemajuan pembangunan desanya, hingga kualitas birokrasi dan pelayanan publiknya. Semua elemen tersebut perlu menjadi fondasi awal untuk mencermati penilaian atas kemajuan otonomi daerah saat ini.

Dalam pengamatan saya, capaian otonomi daerah atas hal tersebut di atas tergantung pada “musim” yang berembus. Musim di sini dimaknai jika suatu daerah mendapatkan kepala daerah yang berkapasitas unggul dan visioner, maka daerah tersebut secara agregat akan mengalami kemajuan yang pesat dan signifikan. Namun, sebaliknya jika kepala daerah unggul tersebut berganti, maka “musim baik” pun berganti dan daerah tersebut cenderung mengalami stagnasi pembangunan atau bahkan penurunan capaian kinerja. Hal ini adalah fakta yang tak terbantahkan dan sudah dialami oleh beberapa daerah. Oleh karenanya, upaya mendorong pemimpin-pemimpin transformasional, inovatif, dan visioner perlu diperkuat dan dipersiapkan dengan baik khususnya oleh partai politik selaku pengusung pimpinan daerah.Di samping itu, pengarusutamaan sistem manajemen birokrasi daerah yang semakin profesional, mulai dari rekrutmen hingga promosi, juga menjadi kunci utama. Otonomi daerah tentu bukan ajang untuk meningkatkan kesejahteraan pada birokratnya semata, namun untuk menjalankan otonomi daerah diperlukan para birokrat andal yang mampu menemukenali kebutuhan publik dan mampu mengelola sumberdaya yang ada secara tepat guna. Peningkatan kesejahteraan atas para aparatur juga diperlukan di era otonomi daerah, namun perlu diimbangi dengan peningkatan kinerja yang signifikan.

Tentu kurang elok jika belanja pegawai mencapai lebih dari 50% dari pengeluaran daerah, namun tidak signifikan memberikan pengaruh pada kualitas pelayanan publik dan kemajuan daerah. Otonomi daerah utamanya harus mampu memberikan keuntungan ekonomi, di mana aktivitas usaha baik skala kecil, menengah, hingga besar dapat berkembang dengan baik, akses permodalan dan pasar menjadi lebih mudah, pengurusan perizinan menjadi lebih mudah, seluruh sektor ekonomi potensial tumbuh aktif sehingga pendapatan per kapita masyarakat juga meningkat signifikan.Jika pendapatan per kapita masyarakat meningkat, maka keuntungan-keuntungan lainnya juga akan turut mengiringi seperti keuntungan pendidikan, keuntungan kesehatan, keuntungan lapangan pekerjaan, keuntungan politik, keuntungan sosial-kultural, hingga keuntungan atas partisipasi masyarakat meningkat. Terkait partisipasi, maka capaian otonomi daerah juga dapat dilihat pada upaya mendorong tumbuhnya kemitraan, kolaborasi, dan kerja sama terbuka antara pemerintah daerah maupun dengan unsur non pemerintah. Memenuhi seluruh kebutuhan pembangunan daerah tentu tidak dapat dilakukan secara mandiri terus menerus di tengah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki pemerintah daerah, sehingga kemitraan strategis dengan akademisi, kelompok masyarakat, dan sektor privat sangat dibutuhkan untuk mengisi ruang otonomi daerah yang ada dilingkup kewenangan pemerintah daerah. Daerah Otonomi Baru
Saat ini gelombang pembentukan daerah otonomi baru (DOB) semakin besar. Data hingga Agustus 2018 menyebutkan bahwa Kemendagri menerima usulan pembentukan DOB dari 318 wilayah. Jumlah yang sangat besar dan perlu secara matang dicermati dan dikaji konsekuensi jika daerah-daerah tersebut diloloskan menjadi DOB. Beruntung saat ini masih diberlakukan kebijakan moratorium DOB dan tentu masih perlu terus diberlakukan secara ketat. Argumentasi dasar yang digunakan adalah otonomi daerah dijanjikan akan memberikan perubahan dan kemajuan, tetapi realisasinya pada beberapa DOB justru memberikan nuansa ketidakpastian, primordialisme, kecurigaan, dan kemunduran jika tidak dikatakan kembali ke kondisi awal. Hal ini bisa dilihat dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh Bappenas dan Kemendagri pada rentang 1999-2014, seperti dinyatakan oleh Djohermansyah Djohan (Guru Besar IPDN) yang menyebutkan bahwa sekitar 70-80 persen dari DOB gagal atau tidak mampu memenuhi kesejahteraan masyarakat, tidak mampu mengubah pelayanan menjadi lebih baik, dan bahkan menggantungkan perekonomiannya dari APBN. DOB pada banyak kasus praktis hanya terlihat geliat politik lokal yang cukup bersemangat, juga munculnya segmentasi raja-raja kecil yang seakan-akan menguasai suatu teritori tertentu sehingga menumbuhkan politik dinasti. Iklim dan suasana sosial ekonomi juga kurang kondusif karena pembuatan aturan khususnya retribusi dan pajak daerah yang kerap menimbulkan persoalan, koordinasi antarlembaga pemerintah yang masih rendah, ruang keterlibatan publik masih terbatas, hingga perkembangan dan kemajuan kota-desa yang masih belum terlihat. Atas hasil ini, maka yang lebih diperlukan ke depan bukanlah suatu DOB, tetapi lebih kepada akselerasi pemerataan pembangunan dan peningkatan akses pelayanan publik kepada seluruh daerah yang ada dengan lebih optimal. Perhatian pembangunan pada poros-poros wilayah yang masih tertinggal perlu dipercepat. Peningkatan akses teknologi, perkembangan konektivitas wilayah antardaerah, serta perluasan aktivitas ekonomi perlu ditonjolkan dan memulai kehadiran pemerintah daerah pada wilayah-wilayah yang rentan. Dengan begini, diharapkan menimbulkan peningkatan kepuasan publik kepada pemerintah daerah. Untuk otonomi daerah yang saat ini sedang berjalan, tentu harus memberikan optimisme yang tinggi bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Optimisme terhadap otonomi daerah perlu digaungkan dengan mempertontonkan capaian yang sudah diraih oleh pemerintah daerah. Inovasi-inovasi sektor publik perlu semakin digalakkan, terlebih di era Revolusi Industri 4.0 saat ini perlu ditanggapi dengan perubahan birokrasi menuju Birokrasi 4.0 yang lebih profesional dengan penerapan pelayanan berbasis IT.

Otonomi daerah tahun ini dan selanjutnya haruslah menonjolkan perbaikan kualitas kehidupan masyarakat, tingkat kolaborasi, sinergi, dan kerja sama yang tinggi pada semua elemen pemerintah dan non pemerintah disertai keaktifan partisipasi publik yang tinggi, birokrasi yang menciptakan kemudahan dan kenyamanan bagi publik dan dunia usaha, serta pemerataan pembangunan kota-desa yang semakin maju. Fokus program pemerintah daerah perlu ditekankan pada inovasi pelayanan publik dan kemanfaatan atas program maupun kegiatan yang dijalankan. Jika hal ini menjadi perhatian, maka kita akan memperoleh kesejahteraan atas pelaksanaan otonomi daerah dan akan melesatkan kemajuan bangsa secara akumulatif.*Rustan Amarullah – Peneliti Birokrasi dan Manajemen Pelayanan Publik pada P3KDOD LAN
Telah diterbitkan di https://news.detik.com/kolom/4405000/dua-dekade-otonomi-daerah